Puan Pembenci Hujan



Mulanya angin bertiup sangat rendah, dan kedua tangan rentanya masih lincah memintal benang rajut untuk dijadikan sebuah tas mini. Dengan sebatang pemintal, tangannya lihai memainkan benda itu di atas gulungan benang berwarna sembur. Ia selalu menggunakan warna-warna demikian, sebab terdapat filosofi tersendiri baginya.

“Bukan hanya indah yang menjadi tujuan, tetapi makna kehidupan tercetak sempurna pada semburan warna yang dihasilkan,” katanya di ujung sore ketika salah satu pembeli mengungkapkan kekaguman pada prakaryanya.

Sesekali, tangannya tergerak untuk mengibaskan sebuah penebah [1] untuk mengusir lalat-lalat yang mengerubunginya, sebab, ia risih dengan serangga yang menurutnya menjijikkan itu. Anehnya, ia membiarkan mereka hinggap dan diam pada segelas air di sampingnya. Air itu adalah air minumnya. Tanpa peduli dengan kehadiran makhluk-makhluk itu, dengan mengira bahwa mereka sedang kehausan, sehingga tak berkehendak untuk mengusirnya. Entah mau diapakan air minum itu. Mungkinkah diminum atau hanya menjadi santapan lalat sekadar menghilangkan dahaga?

Andaikata diminum, sangatlah ironis. Itu berarti ia mengacuhkan dirinya sendiri, dan lebih mementingkan kebahagiaan lalat-lalat yang diam-diam membawa serta menaburkan benih-benih penyakit yang merugikan.

Sungguh, ia benar-benar tak peduli. Minumlah! hai, makhluk-makhluk kecil. Agar hilang rasa hausmu. Lirihnya setelah kedua bola mata menangkap potret serangga yang memenuhi gelas minumnya. Ia pun kembali melanjutkan kegiatan yang sempat tertunda dua detik.

Tiba-tiba, ia tersentak ketika gemuruh langit memekakkan telinga. Merubah keadaan yang tadinya tenang menjadi bumerang. Mimik wajahnya berubah tegang, dengan mata yang tak henti-hentinya menatap awan kelabu di atas sana. Angin mulai menyerbu pohon-pohon besar nan gagah di bahu-bahu jalan. Menimbulkan suara-suara ribut, sepertinya alam sedang mengamuk. Ranggasan kering dedaunan di dalam tong, abu bekas pembakaran, sampah-sampah plastik berserakan sampai-sampai berterbangan di udara.

Wanita itu segera bangkit dan menutupkan kedua belah tangan ke lubang telinganya. Langit bergemuruh untuk kedua kalinya. Seketika ia berteriak seraya berlari ke dalam bilik rumahnya. Langkah kakinya terus melaju, macam orang kesetanan. Menjadikan pojok ruangan sebagai tempat meringkuk dan meluapkan isak tangisnya. Menangis sejadi-jadinya.

“Arrrggghhh ... mengapa? Mengapa kau lakukan ini padaku? Huhuhu ....” Wanita itu histeris, mengerang parau, terus menyalah-nyalahkan seseorang yang entah di mana raganya kini berada. Ia semakin kacau dengan keadaannya. Begitu mirip orang gila. Menjerit-jerit tak karuan sembari mengacak-acak rambut dan pakaian yang membaluti tubuhnya.

*****

Bunga pukul empat itu sangat cantik. Memberi kesan menawan pada hari yang begitu indah mewarnai hariku. Iya, sejak kemarin sore, jingga selalu nampak di pelupuk mataku. Seakan hari tak kunjung malam. Hanya jingga yang ingin kutatap dan tak rela ia pergi dariku. Hemmm ... beginikah rasanya jatuh cinta? Begitu kuatnya rasa ini, sehingga hidupku dipenuhi kupu-kupu yang indah. Di mana saja aku berada, senyum tak berhenti mengembang menghiasi wajah. Saat makan, ketika tidur, menonton drama sendu malah membuatku rindu, bukan efek FTV-nya, tetapi ingatan tentang wajahnya seakan tak mau lepas. Ah, menyedihkannya diriku hanya berkesempatan untuk menunggu.

*****

Bunga, aku mencintaimu. Maukah kau menikah denganku?” ujar seorang lelaki dengan penuh pengharapan. Puan itu hanya diam, tersenyum lalu mengangguk malu-malu. Mukanya memerah persis buah delima -ketika dibelah- yang tergantung di samping rumahnya.

Tapi, bagaimana dengan istrimu? Gumamnya dalam hati. Seakan laki-laki itu tahu isi hati puan pujaanya, ia pun berkata, “tak perlu ragu, aku telah bercerai darinya. Kami bukan lagi sepasang suami-istri,” ucapnya mantap meyakinkan puannya.

Tanpa pikir panjang, tanggal pernikahan mereka akhirnya ditetapkan. Karib kerabat  terlihat sangat mendukung penyatuan keduanya. Maka, terjadilah resepsi pernikahan yang sangat sederhana tanpa penyewaan sebuah gedung. Tamu pun hanya kerabat dekat dan tetangga akrab, sebab kedua insan itu sama-sama bekas milik orang.

Hari-hari pasangan tuan dan puan anyar itu berlangsung penuh suka cita. Saling mencinta dan mengasihi, hingga pada akhirnya mereka dikaruniai seorang putra. Permata hati yang menenangkan jiwa. Tawa tanpa suara makhluk mungil, rengek tangis dalam buaian sungguh membuat kalbu semakin menderu bahagianya. Inilah kesempurnaan menjadi seorang wanita. Istri dan ibu dalam panggilan hangatnya. Cinta kasih tanpa pamrih. Perisai yang sigap menyiaga.

 Oh, Tuhan Yang Berkuasa. Sungguh, sungguh ini nikmat-Mu yang tiada dua. Betapa bahagia puan yang sedang menggendong bayi mungil nan rupawan itu. Dalam buaian, ia dendangkan lagu purnama setiap malamnya.

Hari berganti hari, minggu pun berganti bulan. Kejanggalan mulai dirasa. Suami yang dahulu selalu pulang tepat waktu, kini sering terlambat masuk rumah. Bahkan, tak pelak bermalam di kantor, katanya. Lembur, katanya. Banyak kerjaan yang harus segera diselesaikan, katanya. Kata-kata yang cukup membosankan didengar telinga.

“Dari mana saja kau, Bang?” tanyanya suatu malam yang menggigil saat mengetahui keadaan suaminya mengendap-endap melangkahkan kaki ke ruang tamu.

Berhenti mendadak dengan wajah agak tegang dan berkata, “Kerja, Neng ....”

“Kerja apa kerja? Masa, lembur saja setiap hari? Apa bos Abang nggak punya belas kasihan?” sindirnya sinis.

“Ya, gitu ...,” sahutnya pendek sembari berlalu meninggalkan dirinya yang mematung.

Tak biasa-biasanya lelaki itu bersikap begitu pada istrinya. Puan itu pun masih meredam diri agar tetap dalam kesabarannya.

Hingga suatu ketika, ia mendapati sebekas warna gincu pada kemeja lelakinya. Tipis, halus, dan menyengat baunya. Tak hanya itu, setiap pulang dari bekerja, parfum berbeda terembus manis dari badannya. Parfum wanita. Bagaimana ia tidak mengetahui, dirinya adalah wanita. Tentu tahu macam-macam dan kesukaan wanita.

Siang itu adalah hari terburuknya, bukan surya yang menyengat kulit ari, tetapi takdir yang sungguh menyayat hati. Di sebuah tempat perbelanjaan, ekor matanya menangkap dua sosok bayangan yang tak asing. Benar, memang tak asing lagi. Sebab, bayangan itu adalah perwujudan asli lelakinya yang tengah mesra menggandeng tangan langsat seorang puan muda.

Sinta. Gumamnya lirih. Namun, ternyata pekikan itu tak hanya sampai telinganya saja, tetapi merasuk ke pendengaran orang yang benar-benar berdiri di depannya. Sandi. Lelakinya itu menoleh, sebelum sempat berkata-kata wajahnya telah tersungkur sebab tamparan yang melayang dari istrinya. Puan muda di sebelahnya tercengang mengetahui rahangnya menegang. Matanya memerah menahan air yang memenuh pada kelopak. Ia meninggalkan lelakinya bersama puan itu dengan keadaan kesal.

Di rumah, ia tak henti-hentinya menangis. Meluapkan kekecewaan mendalam pada takdir yang tak memihaknya. Meremas-remas baju dan mengacak rambut serta seprei kasurnya. Ia tak habis pikir, dengan suami yang berkali-kali meyakinkannya untuk menikah dengannya. Berjanji setia dan tak kan menduakannya. Namun, apa yang terjadi? Ia mengingkari janji yang dibuatnya sendiri. Janji sehidup semati, tetapi kenyataannya telah basi. Janji tinggallah janji yang hirap tertelan angin.

Kepedihan hidupnya tak berhenti sampai di situ, puan itu sangatlah sabar dan pemaaf. Luluh hatinya melihat lelakinya pulang membawa segenggam permintaan maaf, hingga sujud-sujud di kaki dan berjanji tak mengulanginya lagi.

Agaknya janji tetaplah hanya sebuah ilusi. Entah lelakinya itu telah lupa atau benar-benar sudah melupa. Dengan terang-terangan, menikahi puan muda yang pernah digandengnya di sebuah tempat perbelanjaan beberapa waktu lalu. Kenyataan yang tak dapat ia terima bahwa puan pemilik lesung pipit sebelah kiri itu adalah mantan istri yang telah terlebih dahulu diceraikannya sebelum menikah dengannya.

Ia tak mengira, ini adalah sebuah konspirasi keluarga besar lelakinya. Dalam pernikahan itu, tak ada raut kemarahan ataupun dendam pada satu per satu wajah, akan tetapi rona bahagia berseri-seri terpampang di muka. Bahkan, ucapan selamat teragung-agung dari mulut-mulut mereka.

Di bawah guyuran rinai yang deras, ia meratapi sebuah skenario tak terduga, dimainkan oleh orang-orang yang bahkan tak dikenal sebelumnya. Ia sudah tak dipedulikan lagi. Bahkan, lelakinya saja tak ada rasa bersalah secuil pun. Hidupnya bertambah sengsara, saat ia mendapati para tetangga mengolok-oloknya sebagai seorang pelakor. Perebut laki orang. Dirinya tak tahu harus berbuat apa. Pasalnya, ia hanya menjadi korban yang tak berdaya. Dalam situasi seperti ini, ia pun masih sempat menyalahkan takdir.

Mengapa aku ditakdirkan menjadi seorang puan? Lemah, tak berdaya. Aku telah kehilangan arah. Silakan kau menertawakanku, hujan. Selamanya aku akan membencimu!!! Kau hadir saat aku benar-benar kehilangan semuanya ....

Ia mengibaratkan mereka semua sebagai lalat. Diam-diam menebarkan penyakit dalam hidupnya. Kini, puan itu tak hanya berkubang dalam kekecewaan, tetapi juga menyimpan kesumat yang membara. Ia tak hanya sakit hati, tetapi juga mengalami depresi akan dendam yang selama ini bercokol subur pada hatinya.[]


Gresik, 27 November 2020 14:25



Footnote :

[1] sekumpulan lidi yang diikat)




Kontributor : Musaafiroh El Uluum

Editor : If Aya

Sumber Gambar : Tailor Melaka





Media kreatif dan wahana ekspresif
Pesantren Seni Sastra Mustafid Zubair






Komentar

Posting Komentar